Sunday, September 26, 2010

Sejarah media di Bali

Creative Commons License

view source: Rumah Tulisan

Sejarah media di Bali dimulai pada 1923 dengan lahirnya Shanti Adnyana dalam bentuk kalawarta (newsletter). Menurut Kembar Karepun, dalam manuskrip untuk buku tentang pertentangan kasta di Bali, Shanti Adnyana, berarti Pikiran Damai, itu berupa majalah bulanan yang diterbitkan organisasi Shanti. Organisasi yang berpusat di Singaraja, Bali utara ini bergerak di bidang sosial dan pendidikan, termasuk penerbitan. Pendirinya dari semua kasta.

Menurut Darma Putra (2003), Shanti Adnyana disunting pengurus organisasi Shanti seperti Ketut Nasa, Nyoman Kajeng, I Gusti Putu Jlantik, dan I Gusti Putu Tjakra Tenaja. Dalam terbitannya Shanti Adnyana lebih banyak menulis masalah agama Hindu dan disebar ke masyarakat umum terutama pegawai dan guru. Latar belakang penyunting itu terdiri dari wangsa (kasta) yang berbeda.

Mula-mula hubungan antar penyunting harmonis. Namun, kemudian terjadi perpecahan sesama penyunting Shanti Adnyana. Perpecahan terjadi akibat perbedaan paham tentang kasta, adat Bali, dan agama Hindu. Perpecahan itu tercermin dalam kebijakan redaksional dalam meloloskan atau tidak-meloloskan artikel menimbulkan konflik internal di antara mereka. Ketut Nasa lalu mengundurkan diri. Shanti Adnyana berhenti terbit.

Shanti Adnyana kemudian berubah nama jadi Bali Adnyana yang berarti Pikiran Bali sejak 1 Januari 1924. Majalah ini terbit tiga kali sebulan yaitu tiap tanggal 1, 10, dan 20. Pengasuhnya I Gusti Tjakratanaya dan I Gusti Ketut Putra. Akibat perpecahan antara tri wangsa dengan jaba, maka majalah ini dianggap hanya memuat suara-suara tri wangsa. Bali Adnyana memang sangat kental menyuarakan pikiran I Gusti Tjakratanaya yang juga bangsawan. Bali Adnyana memuat ajaran agama, etika, dan ingin mempertahankan adat istiadat agar sistem kasta tetap berlaku (Agung Putra, 2001).

Ketut Nasa dan kawan-kawannya sesama jaba kemudian mendirikan Surya Kanta sebagai tandingan Bali Adnyana pada 1 Oktober 1925. Majalah bulanan ini diterbitkan organisasi bernama sama, Surya Kanta, yang anggotanya kebanyakan guru. Organisasi ini bertujuan memperbaiki dan memajukan cara berpikir masyarakat Bali dengan meninggalkan cara berpikir yang kolot agar terbuka dan berkembang menuju kemajuan. Karena itu Surya Kanta memuat tentang sistem pendidikan Barat, penyederhanaan upacara agama, bahkan tentang koperasi.
Menurut Darma Putra, Bali Adnyana dan Surya Kanta, keduanya terbit di Singaraja, merupakan dua media massa penting di Bali yang terbit bersamaan pertengahan 1920-an. Mengingat paham pengasuh dan penerbitnya tentang kasta berbeda, sebagian besar isi kedua media massa ini menjadi ajang polemik mengenai kasta dan adat Bali. Polemik ini mendapat pengawasan ketat dari penjajah. Pemerintah kolonial tidak menginginkan terjadinya konflik sosial. Karena mendapat tekanan, Surya Kanta akhirnya berhenti terbit pada September 1927. Sementara itu Bali Adnyana lenyap dari peredaran tahun 1929.

Setelah Surya Kanta dan Bali Adnyana lenyap, di Singaraja terbit majalah Bhãwanãgara, pada 1931. Bhãwanãgara artinya ‘keadaan sejati di negara’ (Bali dan Lombok). Menurut Robinson (2006) majalah berbahasa Melayu ini diterbitkan Yayasan Kirtija Liefrinck van der Tuuk. Pengasuhnya antara lain pakar Bali Dr. R. Goris bersama I Gusti Putu Djlantik, I Gusti Gde Djlantik, I Nyoman Kadjeng, dan I Wajan Ruma.
Bhãwanãgara dimaksudkan sebagai “soerat boelanan oentoek memperhatikan peradaban Bali”. Nomor perdana Bhãwanãgara terbit pada 1931, setebal 40 halaman. Bhãwanãgara mendapat dukungan antusias pemerintah kolonial, yang berkepentingan mempromosikan kesadaran identitas kultural Bali dari pada identitas berdasarkan kasta atau kesatuan nasional Indonesia. Bhãwanãgara juga sebagai usaha untuk mewujudkan rekonsialiasi antara kelompok jaba dan tri wangsa. Bhãwanãgara terbit sampai 1935.

Setahun kemudian, pada 1936, terbit majalah kebudayaan bulanan Djatajoe, diambil dari  nama burung yang membela Dewi Sita dalam epos Ramayana. Majalah sosial budaya ini diterbitkan Bali Darma Laksana, organisasi sosial yang anggotanya terdiri atas kalangan terpelajar Bali. Djatajoe merupakan salah satu sarana untuk menyadarkan masyarakat tentang pendidikan dan kebudayaan. Pemimpin redaksi pertama Djatajoe adalah I Goesti Nyoman Pandji Tisna, yang ketika itu meraih reputasi nasional sebagai sastrawan lewat novelnya Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) dan termasuk dalam sastrawan Angkatan Poedjangga Baroe.
Bentuk dan konsep Djatajoe dipengaruhi majalah Poedjangga Baroe yang terbit di Jakarta dengan redaktur Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Setelah Panji Tisna selesai mengelola, Djatajoe kemudian dikelola Nyoman Kajeng dan Wayan Badhra. Majalah ini terbit sampai 1941.

Zaman Jepang
Pada masa pendudukan Jepang hanya ada satu media massa di Bali. Ketika itu Jepang mengendalikan semua badan pengumuman dan penerangan di Indonesia, termasuk di Bali. Karena itu koran-koran pergerakan yang ada sejak zaman kolonial Belanda pun diubah namanya, bahkan dikendalikan terbitannya oleh Jepang. Misalnya kantor berita Antara diubah jadi Yashima sebelum kemudian jadi kantor berita Domei. Di Bali sendiri belum ada koran pergerakan pada saat itu (Putra dan Supartha, 2001).
Jepang kemudian membuat koran-koran daerah di beberapa kota di Indonesia. Antara lain Kita Sumatera Shimbun di Sumatera, Palembang Shimbun di Palembang, Lampung Shimbun di Lampung, Sinar Matahari di Ambon, dan Bali Shimbun di Bali. Koran Bali Shimbun mulai terbit sejak 8 Maret 1944. Koran ini menggunakan bahasa Indonesia dalam terbitannya. Mereka merekrut wartawan lokal sebagai anggota redaksi, termasuk Ketut Nadha, perintis media terbesar di Bali saat ini, Bali Post. Selain Ketut Nadha juga ada I Gusti Putu Arka dan Made Sarya Udaya.

Bali Shimbun berhenti terbit ketika Jepang dikalahkan Sekutu pada 1945. Namun Ketut Nadha ternyata telah menyiapkan koran pergerakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama dua tahun (1946-1947) Ketut Nadha mempersiapkan penerbitan koran ini dengan mendirikan perpustakaan merangkap toko buku. Pada 16 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Ketut Nadha bersama dua temannya ketika di Bali Shimbun, I Gusti Putu Arka dan Made Sarya Udaya, menerbitkan Suara Indonesia dalam bentuk majalah.
Saat itu Suara Indonesia terbit tidak tentu, tergantung situasi keamanan. Karena masih dalam situasi perjuangan, Suara Indonesia pun mengemban dua tugas sekaligus: sebagai media pemberitaan dan penerangan sekaligus sebagai  aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung membangun perlawanan pada penjajah (Putra dan Supartha, 2001).
Dalam perjalanannya Suara Indonesia beberapa kali mengalami perubahan nama antara lain menjadi Suluh Indonesia, Suluh  Marhaen sebelum kemudian jadi Bali Post.


No comments:

Post a Comment